Ntvnews.id, Jakarta - PBB mengungkap bahwa jaringan kejahatan asal Asia yang mengendalikan industri penipuan siber bernilai miliaran dolar kini mulai merambah ke berbagai penjuru dunia.
Dalam laporan yang dirilis pada Senin, 21 April 2025, disebutkan bahwa berbagai upaya keras dari negara-negara Asia Tenggara belum mampu menghentikan laju jaringan kriminal ini.
Dilansir dari DW, Rabu, 23 April 2025, jaringan kejahatan yang berasal dari Cina dan negara-negara Asia Tenggara tersebut diketahui menyasar korban melalui berbagai modus, termasuk investasi palsu, mata uang kripto, penipuan asmara, dan jenis penipuan daring lainnya.
Menurut Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), industri penipuan siber telah berkembang menjadi operasi global yang sangat terorganisir. Penipuan ini dilakukan dari kompleks-kompleks besar yang diisi puluhan ribu orang, sebagian besar merupakan korban perdagangan manusia yang dipaksa untuk melakukan penipuan secara daring.
Jangkauan penipuan kini hingga ke pulau-pulau Pasifik
“Penyebarannya seperti sel kanker,” kata Benedikt Hofmann, Wakil Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik. “Ketika satu wilayah berhasil dibersihkan, mereka dengan cepat berpindah ke tempat lain.”
Baca Juga: WHO: 75 Persen Bantuan PBB Gagal Masuk Gaza karena Ditolak Israel
Sebagian besar aktivitas kejahatan ini terpusat di daerah perbatasan Myanmar yang tengah berkonflik, serta di "zona ekonomi khusus" yang dicurigai di Kamboja dan Laos. Namun laporan UNODC menunjukkan bahwa jaringan ini mulai memperluas cakupan operasinya ke wilayah-wilayah lain seperti Amerika Selatan, Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan sejumlah pulau di kawasan Pasifik.
“Perluasan ini adalah bagian dari strategi untuk menemukan wilayah operasi baru serta langkah pencegahan apabila tekanan di Asia Tenggara semakin meningkat,” tambah Hofmann.
UNODC memperkirakan bahwa pada tahun 2023, negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara mengalami kerugian hingga $37 miliar (sekitar Rp592 triliun) akibat penipuan siber, sementara kerugian di Amerika Serikat mencapai lebih dari $5,6 miliar (sekitar Rp94 triliun).
Kerja sama internasional diperlukan untuk membendung kejahatan siber lintas negara
Tahun ini, serangkaian operasi penindakan besar-besaran di Myanmar—yang sebagian diprakarsai oleh Cina—berhasil membebaskan sekitar 7.000 orang korban perdagangan manusia dari lebih dari 50 negara.
Baca Juga: Stafnya Tewas Ditembak Tank, PBB Salahkan Israel
Penggerebekan juga dilakukan di Kamboja, namun alih-alih menghilang, sindikat kejahatan justru berpindah ke daerah-daerah terpencil dan wilayah perbatasan. Juru bicara pemerintah Kamboja, Pen Bona, menyatakan bahwa negaranya juga menjadi korban dari industri penipuan siber dan bertekad melawannya.
Ia menyebut pemerintah telah membentuk komisi ad-hoc yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Hun Manet guna memperkuat penegakan hukum dan menjalin kerja sama dengan mitra internasional serta PBB.
UNODC mendesak adanya aksi global dan menekankan bahwa situasi saat ini sudah berada pada “titik kritis.” Jika dibiarkan, menurut badan PBB tersebut, dampaknya tidak hanya akan memperparah kondisi di Asia Tenggara tetapi juga menyebar secara global dengan konsekuensi besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.