Ntvnews.id, Moskow - Menjelang perayaan militer "Hari Kemenangan" Rusia pada 9 Mei 2025, Presiden Vladimir Putin bersiap menyambut Presiden Tiongkok, Xi Jinping, sebagai tamu kehormatan.
Kehadiran Xi menjadi simbol kuat solidaritas antara Moskow dan Beijing di tengah dominasi pendekatan diplomatik "America First" dari Presiden AS Donald Trump.
Dilansir dari Reuters, Kamis, 8 Mei 2025, Xi Jinping dijadwalkan tiba di Moskow pada Rabu, 7 Mei, untuk kunjungan resmi selama empat hari dan menghadiri parade yang memperingati delapan dekade kemenangan Sekutu atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Selain Xi, pemimpin-pemimpin lain seperti Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Vietnam To Lam, dan Presiden Belarus Aleksandr Lukashenko juga direncanakan hadir. Parade tersebut juga akan melibatkan pasukan kehormatan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok.
Baca Juga: Xi Jinping: Perang Dagang Rugikan Sistem Ekonomi Dunia
Dalam rangka perayaan ini, Putin mengusulkan jeda pertempuran selama tiga hari, namun Ukraina langsung menolak dengan menyebutnya sebagai “pertunjukan semu”, dan kembali menyuarakan dukungan terhadap proposal gencatan senjata 30 hari dari Amerika Serikat.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebelumnya telah memperingatkan para pemimpin asing yang hadir bahwa Ukraina tak bisa menjamin keamanan mereka di wilayah Rusia. Pihak Kremlin merespons hal ini sebagai ancaman langsung.
Selama konflik berlangsung, Ukraina terus melancarkan serangan drone ke Moskow, termasuk salah satu serangan terbesar pada bulan Maret lalu yang menewaskan tiga orang. Pemerintah Ukraina menyatakan serangan-serangan ini menyasar infrastruktur penting guna menghambat operasi militer Rusia.
Menegaskan Kedekatan Strategis
Kunjungan Xi kali ini adalah yang ketiga sejak Rusia melancarkan invasi ke Ukraina lebih dari tiga tahun lalu. Namun, sejak kunjungan terakhirnya enam bulan lalu, situasi geopolitik telah banyak berubah.
Ketegangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat kian meningkat akibat perang dagang, yang berdampak besar pada perekonomian kedua negara. Di tengah tekanan ini, Beijing mempererat hubungan strategisnya dengan Rusia guna memperluas pengaruh globalnya.
Sebaliknya, Moskow semakin waspada melihat hubungan yang menghangat antara Washington dan Kyiv. Yun Sun, Direktur Program Tiongkok di Stimson Center, menyatakan bahwa perkembangan ini mendorong kedua negara—Tiongkok dan Rusia—untuk menampilkan kesatuan sikap.
Baca Juga: Trump: Xi Jinping Adalah Teman Lama, Saya Yakin Kita Bisa Capai Kesepakatan
Perayaan Hari Kemenangan menjadi panggung strategis bagi Beijing dan Moskow untuk menentang dominasi Amerika Serikat. Menurut media pemerintah Tiongkok, Xinhua, baik Xi maupun Putin digambarkan sebagai pemimpin yang berkomitmen terhadap pembentukan tatanan dunia baru yang bebas dari unilateralisme dan tekanan global.
Kerja sama antara kedua negara juga terus berkembang dalam bidang ekonomi dan pertahanan, terlebih sejak konflik Rusia-Ukraina dimulai. Meskipun mengklaim posisi netral, Tiongkok berperan penting sebagai mitra dagang utama Rusia. Nilai perdagangan kedua negara mencapai rekor tertinggi tahun lalu, seiring ketergantungan Rusia terhadap pasar dan produk Tiongkok akibat sanksi internasional.
Aliansi di Tengah Ketegangan
Kali ini, para analis memperkirakan bahwa Xi akan memanfaatkan kunjungannya untuk memperkuat akses Tiongkok terhadap sumber daya alam dan pasar Rusia. Hal ini menjadi krusial karena Tiongkok memberlakukan tarif hingga 145 persen terhadap sebagian besar ekspor ke Amerika Serikat.
Menurut Tamás Matura dari European Policy Centre, konflik dengan Washington membuat Beijing makin menggantungkan diri pada Rusia, khususnya dalam sektor energi dan perdagangan. Namun, masih terbuka peluang bagi Tiongkok untuk memperbaiki relasinya dengan negara-negara Eropa, tergantung bagaimana Xi memainkan diplomasi dan narasinya.
Baca Juga: Xi Jinping Gelar Pertemuan dengan Bos-bos Perusahaan Swasta China, Huawei, BYD hingga Xiaomi
Pendekatan Presiden Donald Trump yang lebih akomodatif terhadap Rusia juga memperumit lanskap geopolitik saat ini, meskipun akhir-akhir ini ia tampak kurang sabar terhadap eskalasi Rusia di Ukraina.
Terlepas dari semua dinamika tersebut, para pengamat menilai hubungan antara Tiongkok dan Rusia tetap akan bertahan kuat. Selain memiliki kepentingan strategis jangka panjang, keduanya berbagi pandangan ideologis dalam menentang pengaruh Barat.
“Rusia berdiri bersama Tiongkok dalam membentuk tatanan internasional yang baru,” ujar Wang Yiwei, Direktur Institut Urusan Internasional Universitas Renmin. Ia menegaskan bahwa ketidakpercayaan Rusia terhadap Amerika Serikat menjadi dasar utama mengapa aliansi ini tidak mudah dipatahkan.