Ntvnews.id, Jakarta - Mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengklaim bahwa iPad dan laptop miliknya yang disita dari kamar tahanan digunakan untuk menyusun nota pembelaan dalam perkara dugaan korupsi importasi gula yang kini menjeratnya.
Dalam keterangannya usai menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin, 2 Juni 2025. Tom Lembong menjelaskan bahwa ia memerlukan perangkat elektronik tersebut karena nota pembelaan yang disusunnya terdiri atas puluhan halaman, sehingga tidak memungkinkan jika ditulis secara manual.
“Tapi ya ini tanggung jawab saya dan saya akan menaati ketentuan, keputusan dari otoritas yang berwenang,” ujarnya.
Namun, karena perangkat tersebut telah disita, untuk sementara waktu ia mengaku menulis pleidoinya dengan tangan menggunakan pena dan kertas. Selain untuk menyusun nota pembelaan, ia juga menjelaskan bahwa perangkat iPad dan laptop digunakan untuk membaca berkas penyidikan yang jumlahnya sangat banyak.
Baca Juga: iPad dan Macbook Ditemukan di Kamar Tahanan Tom Lembong, Jaksa Ajukan Penyitaan
“Berkas penyidikan itu sangat tebal karena terdiri atas ribuan halaman,” tambahnya.
Meski begitu, Tom Lembong menyatakan keberatan atas penyitaan iPad dan laptop tersebut. Ia mempertanyakan dasar hukum serta kewenangan jaksa penuntut umum dalam melakukan penyitaan. Menurutnya, penyitaan terhadap barang dalam rumah tahanan seharusnya menjadi wewenang pejabat rutan, bukan jaksa.
“Dasar hukumnya tidak jelas karena untuk jaksa, yang punya kewenangan untuk menyita itu penyidik, sementara tahap penyidikan sudah selesai,” kata dia.
Kejaksaan Agung sebelumnya telah menyita dua perangkat elektronik milik Tom Lembong, yaitu satu unit iPad Pro berwarna perak dan satu unit laptop Apple dengan warna serupa. Penyitaan dilakukan di tengah masa persidangan karena kedua barang tersebut ditemukan di kamar tahanan.
Baca Juga: Ini Alasan Kejagung Sita Laptop dan Tablet Tom Lembong
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa jaksa penuntut umum mengambil tindakan karena perangkat elektronik tidak diperbolehkan berada di dalam kamar tahanan.
“Karena jaksa penuntut umum melihat perlengkapan alat elektronik ini bisa masuk ke kamar tahanan yang sementara itu dilarang,” ungkap Harli kepada media di Jakarta pada Jumat, 23 Mei.
Harli menegaskan bahwa keberadaan barang elektronik di dalam tahanan sangat dibatasi.
“Boleh ada elektronik tapi yang sifatnya statis, dan itu ada di luar kamar tahanan, tapi ini bisa masuk,” jelasnya. Ia juga mengungkapkan bahwa penyitaan dilakukan karena diduga perangkat tersebut memiliki kaitan dengan kasus yang sedang disidangkan.
Baca Juga: Alasan Kejagung Periksa Istri Tom Lembong
Dalam perkara dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada periode 2015-2016, Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar. Kerugian tersebut muncul akibat penerbitan surat pengakuan impor atau persetujuan impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan tanpa melalui rapat koordinasi antarkementerian dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Surat tersebut diterbitkan untuk impor gula kristal mentah yang akan diolah menjadi gula kristal putih. Padahal, menurut dakwaan, Tom Lembong mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan penerima izin tidak memiliki hak untuk melakukan pengolahan tersebut karena merupakan perusahaan gula rafinasi, bukan produsen gula kristal putih.
Selain itu, ia juga tidak menunjuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam upaya pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula. Sebagai gantinya, ia menunjuk beberapa koperasi seperti Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI/Polri.
Atas perbuatannya tersebut, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(Sumber: Antara)