Ntvnews.id, Jakarta - Zhao Weiguo, mantan pimpinan Tsinghua Unigroup perusahaan semikonduktor milik negara China telah dijatuhi hukuman mati oleh otoritas China. Tsinghua Unigroup dikenal sebagai salah satu perusahaan strategis di bawah pengawasan negara, mirip dengan konsep Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia.
Mengutip dari siaran CCTV, media resmi pemerintah China, Jumat, 13 Juni 2025, hukuman tersebut mencakup penangguhan eksekusi selama dua tahun. Zhao dinyatakan bersalah atas berbagai pelanggaran serius, termasuk tindak pidana korupsi, perolehan keuntungan secara ilegal, serta penyalahgunaan kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai pimpinan perusahaan.
Zhao terbukti menyalahgunakan kewenangannya untuk mengarahkan proyek properti dan kontrak bisnis kepada mitra pribadinya. Praktik ini menyebabkan kerugian besar bagi negara, mencapai lebih dari USD 194 juta atau sekitar Rp 3,1 triliun jika dikonversi ke rupiah.
Dalam sistem hukum China, hukuman mati dengan penangguhan dua tahun memungkinkan terdakwa untuk menghindari eksekusi jika tidak melakukan pelanggaran lain selama masa tersebut. Bila dinilai berkelakuan baik, hukuman ini dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Menurut laporan OCCRP, majelis hakim menyebut bahwa terdapat beberapa hal yang meringankan vonis Zhao. Ia disebut memberikan pengakuan penuh, bekerja sama dengan penyelidikan, serta mengembalikan keuntungan ilegal. Selain itu, seluruh aset pribadinya telah disita oleh negara.
Zhao dikenal sebagai salah satu tokoh utama dalam ambisi pemerintah China membangun kemandirian teknologi chip. Selama menjabat sebagai pemimpin Tsinghua Unigroup dari tahun 2013 hingga 2022, ia menjadi arsitek utama dari strategi ekspansi melalui akuisisi agresif.
Selama kepemimpinannya, Tsinghua Unigroup berhasil mengambil alih lebih dari 20 perusahaan, mayoritas di sektor semikonduktor. Dalam periode itu, aset perusahaan melesat dari hanya 1,3 miliar yuan menjadi hampir 298 miliar yuan, menjadikannya simbol utama kebangkitan teknologi nasional China.
Namun di balik pencapaian tersebut, kondisi keuangan perusahaan ternyata rapuh. Menjelang akhir 2020, Tsinghua Unigroup mulai gagal memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Pada Desember 2021, setelah intervensi dari perusahaan induk, Tsinghua Holdings, perusahaan ini akhirnya dinyatakan bangkrut secara resmi.
Upaya restrukturisasi di bawah pengawasan pengadilan selesai pertengahan 2022. Kepemilikan saham perusahaan sepenuhnya dialihkan kepada investor baru, yakni Beijing Zhiguangxin Holding. Tak lama setelah proses ini rampung, Zhao mengundurkan diri dan kemudian menjadi subjek penyelidikan hukum.
Pada Maret 2023, Komisi Pusat Inspeksi Disiplin Partai Komunis China secara resmi mengumumkan bahwa Zhao melakukan praktik penggelapan, memperkaya kolega secara tidak sah, serta merugikan perusahaan publik. Kasusnya kemudian diteruskan ke kejaksaan hingga akhirnya ia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati.
"Sebagai seorang manajer perusahaan milik negara, dia dibutakan oleh keserakahan, bertindak gegabah, mengkhianati tugas dan misinya, menyalahgunakan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi, mengubah properti publik menjadi properti pribadi, dan menganggap perusahaan milik negara yang dikelolanya sebagai wilayah pribadi," demikian pernyataan resmi otoritas hukum China.