JPU Tegaskan Kasus Hasto Berdasarkan Bukti Baru, Bukan Ulangan Perkara Lama

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 14 Jul 2025, 14:26
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis, 10 Juli 2025. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis, 10 Juli 2025. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Yunarwanto, menekankan bahwa penyidikan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dilakukan berdasarkan bukti baru yang diperoleh penyidik, bukan berdasarkan bukti lama yang telah diperiksa dalam perkara lain.

Penegasan tersebut disampaikan untuk menanggapi argumen pembelaan (pledoi) Hasto yang menilai bahwa dakwaan dan tuntutan jaksa bertentangan dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, sehingga menurutnya tidak sah dijadikan dasar tuntutan.

“Bukti tersebut belum dijadikan alat bukti dalam persidangan perkara atas nama Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina dan perkara Saeful Bahri,” ucap JPU saat membacakan replik atau tanggapan terhadap nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 14 Juli 2025.

Jaksa juga menjelaskan bahwa bukti baru itu menunjukkan adanya keterlibatan Hasto dalam kasus dugaan suap kepada Wahyu Setiawan yang dilakukan bersama Agustiani Tio Fridelina.

Dengan temuan tersebut, jaksa menyatakan bahwa walaupun nama Hasto tidak disebut dalam putusan perkara sebelumnya, hal itu tidak berarti Hasto tidak bisa dijadikan terdakwa dalam kasus baru.

Dalam persidangan, hal ini dikuatkan oleh keterangan ahli Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan yang mengatakan, “Tetapi kalau itu keterangan saksi yang disebutkan sesuatu yang baru betul dan tidak terkait dengan apa yang sudah diputus oleh Mahkamah, ahli kira beralasan untuk suatu perkara baru.”

JPU juga mengutip pendapat ahli pidana Muhammad Fatahilah yang menyebut bahwa perkara pidana tetap dapat diperiksa terpisah ketika dalam proses persidangan muncul nama pelaku baru yang belum diproses secara hukum.

“Ketika sebuah perkara sudah disidangkan dan inkrah, namun dalam perkembangannya ada pelaku baru yang berkaitan dengan perkara tersebut, maka pemeriksaan perkara dilakukan sendiri karena pada prinsipnya pemeriksaan perkara pidana berdiri sendiri,” jelas JPU.

Hasto Kristiyanto sendiri sebelumnya telah dituntut hukuman tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta. Jika denda tidak dibayarkan, maka akan digantikan dengan pidana kurungan selama enam bulan.

Dalam kasus ini, Hasto didakwa menghalang-halangi penyidikan dalam perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka sejak 2019 hingga 2024.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa Hasto memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi Nur Hasan, untuk merendam ponsel milik Harun ke dalam air sesaat setelah operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan, anggota KPU periode 2017–2022.

Tidak hanya itu, Hasto juga diduga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel guna menghindari penyitaan oleh penyidik.

Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama Donny Tri Istiqomah (advokat), Saeful Bahri (mantan terpidana), dan Harun Masiku memberikan suap senilai 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan antara 2019 hingga 2020.

Suap itu diberikan agar Wahyu mengupayakan Komisi Pemilihan Umum menyetujui pengajuan pengganti antarwaktu (PAW) anggota legislatif terpilih Dapil Sumatera Selatan I, dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku.

Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

(Sumber: Antara)

x|close