Ntvnews.id, Jakarta - Pemerintah diminta segera menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) secara bertahap untuk menjamin keberlanjutan program tersebut dalam jangka panjang. Permintaan ini disampaikan oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengingat besarnya tantangan yang dihadapi dalam perlindungan hari tua bagi pekerja Indonesia.
"Jaminan pensiun tidak boleh hanya jadi program administratif. Program ini harus benar-benar menjamin kehidupan di usia tua," kata Edy dikutip dari ANTARA, Senin, 14 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa jika iuran tidak disesuaikan dengan perkembangan demografi dan proyeksi kebutuhan manfaat, potensi defisit dana pensiun tidak bisa dihindari.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024, rasio ketergantungan lansia saat ini mencapai 17,76 persen. Ini berarti dari setiap 100 penduduk usia produktif, sekitar 17 hingga 18 orang adalah lansia yang membutuhkan dukungan sosial atau ekonomi.
Jumlah lansia pun meningkat signifikan. Per tahun 2024, tercatat sebanyak 33,67 juta penduduk Indonesia berusia lanjut, atau sekitar 12 persen dari total populasi. Angka ini diperkirakan terus bertambah di masa mendatang.
Mengacu pada standar internasional, Edy menyebutkan bahwa manfaat pensiun idealnya mencakup 40 persen dari gaji terakhir, sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 bagi pekerja dengan masa iur 30 tahun.
"Untuk bisa mencapai angka tersebut, pemerintah perlu segera menaikkan koefisien perhitungan manfaat dari yang saat ini berlaku menjadi 1,33 persen. Tanpa itu, manfaat yang diterima akan terus berada di bawah standar kelayakan," tegasnya.
Edy juga menyoroti rendahnya cakupan peserta aktif program JP. Dari sekitar 145,77 juta pekerja di Indonesia, hanya 15 juta yang aktif sebagai peserta JP. Kondisi ini menunjukkan bahwa mayoritas pekerja, terutama di sektor informal, belum terlindungi dalam sistem jaminan pensiun nasional.
"Ini adalah masalah serius. Artinya, sebagian besar pekerja akan memasuki masa tua tanpa perlindungan ekonomi," lanjut Legislator Dapil Jawa Tengah III itu.
Ia juga mendorong perlindungan yang lebih layak bagi ahli waris peserta JP yang meninggal atau mengalami cacat total tetap. Menurutnya, manfaat minimum dalam kondisi tersebut sebaiknya ditetapkan paling tidak sebesar 1,5 kali dari garis kemiskinan.
"Jika kita ingin mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan inklusif, maka manfaat JP harus naik dan pesertanya harus diperluas. Tidak bisa lagi hanya menjangkau kelompok formal," tambahnya.
Senada dengan Edy, Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany, juga menilai bahwa jaminan pensiun bagi seluruh rakyat Indonesia belum menjadi prioritas negara.
Ia menyoroti ketimpangan dalam akses manfaat pensiun yang saat ini lebih banyak dinikmati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), sementara pekerja di sektor nonformal belum memperoleh perlindungan serupa.
"Para lansia orang tua, pekerja mandiri, entah itu petani, nelayan, pedagang, ketika tua belum tentu mendapatkan pendapatan yang cukup. Tidak mungkin mengandalkan anak-anak, karena tidak selalu mendapatkan penghasilan yang cukup," katanya.
Hasbullah menambahkan bahwa jumlah peserta JP saat ini baru sekitar 38 juta orang, sangat kecil dibandingkan jumlah pekerja informal yang mencapai 130 juta. Ia mendorong reformasi skema iuran dan pengelolaan dana pensiun agar lebih inklusif.
Ia juga mengkritik fleksibilitas pencairan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang menurutnya justru mereduksi tujuan jangka panjang jaminan sosial.
"Harusnya diakumulasi saja. Iuran JHT sebesar 5,7 persen antara pekerja dan pemberi kerja, ditambah iuran jaminan pensiun 3 persen. Total 8,7 persen itu seharusnya sudah cukup baik untuk masa pensiun," kata Hasbullah.
Menurutnya, sebagian besar pekerja masih belum memiliki kesiapan atau kompetensi untuk mengelola dana JHT yang dicairkan, terutama setelah terkena PHK. Akibatnya, tidak ada dana pensiun yang tersisa saat memasuki usia lanjut atau mengalami sakit.
"Padahal mereka tidak memiliki kompetensi untuk berbisnis. Uangnya habis, dan ketika tua atau sakit, tidak ada tabungan pensiun yang tersisa," ujarnya.
Hasbullah juga menyoroti bahwa Indonesia tertinggal jauh dibanding negara lain dalam pengumpulan dana pensiun. Ia membandingkan dengan Vietnam yang dana pensiunnya sudah lebih besar meski populasinya hanya separuh Indonesia.
"Vietnam, yang baru merdeka 30 tahun setelah Indonesia dan jumlah penduduknya hanya setengahnya, dana pensiunnya bisa lebih besar dari kita," katanya.
Sementara negara seperti Malaysia dan Singapura telah masuk dalam 50 besar global dalam hal pengelolaan dana pensiun. Belanda bahkan telah memiliki dana pensiun yang nilainya dua kali lipat dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.
"Sementara kita baru 8 persen dari PDB," tambahnya.
Hasbullah mengajak semua pihak untuk mulai membangun kesadaran bersama akan pentingnya jaminan sosial di usia lanjut.
"Semua kita akan menjadi lansia, atau bisa saja menderita cacat karena sakit. Maka kita punya hak untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, pakaian, tempat tinggal. Negara harus hadir dan pekerja juga harus punya kesadaran itu," katanya.