Sebab, Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer. Sehingga, menurut dia, PDI-P berhak menjalin kerja sama politik dengan partai lainnya.
"Tapi bagaimanapun dia (Megawati) tahu persis yang namanya partai itu harus ada yang berani di luar pemerintahan untuk mengimbangi eksekutif," sambungnya.
"Saya bicara sebagai pemilih, bukan sebagai pengamat. Kalau Anda memilih si A atau si B menjadi calon presiden atau wakil presiden, tiba-tiba pimpinan partai Anda atau oligarki di dalam partai itu mengubah impian Anda, menjadikan partai dibawa-bawa untuk masuk ke dalam satu gerbong pemerintah, atau jump on the bandwagon (lompat ke kereta yang sedang berjalan dan masuk menjadi penumpang di dalam kereta tersebut). Coba sakitnya Anda bagaimana?"
Baca Juga: Bambang Harymurti Ungkap Sebab Jokowi Cemas Soal Kesepakatan dengan Prabowo Pasca Lengser
"Selama ini dipikir yang namanya konstituen, rakyat itu dikasih bansos saja sudah lupa, saya enggak mau, saya sebagai seorang yang juga dulu berjuang ikut bagaimana terjadinya reformasi supaya Soeharto juga enggak dipilih lagi oleh MPR pada 1998 juga berharap apa yang kita lakukan pada 1998 harusnya berimbas pada sesuatu yang positif," sebut Ikrar.
Dia menilai Jokowi mematikan demokrasi hanya dalam 1 tahun. "Kenapa saya katakan 1 tahun? Karena proses di MK (Mahkamah Konstitusi) itu hanya beberapa hari sebelum calon Presiden dan Wakil Presiden itu bisa menjadi calon," imbuhnya.
Menurutnya, Prabowo dan Megawati tidak memiliki sebuah hubungan yang love-hate relationship.