Ntvnews.id, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak agar program pengiriman anak ke barak militer dalam rangka Pendidikan Karakter Panca Waluya di Jawa Barat dihentikan sementara, untuk dievaluasi secara menyeluruh oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Desakan ini muncul setelah KPAI menemukan berbagai pelanggaran prinsip perlindungan anak dalam pelaksanaan program tersebut.
“Angkatan pertama ini ya kami merekomendasikan untuk disudahi. Kemudian untuk dievaluasi. Ada 8 poin tadi terkait harmonisasi regulasi, definisi kriteria dan indikator anak yang menunjukan perilaku khusus,” tegas Komisioner KPAI, Jasra Putra, dilansir Jumat, 16 Mei 2025.
Program yang dijalankan di dua lokasi barak militer, yakni Resimen 1 Sthira Yudha di Purwakarta dan Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi di Bandung Barat, awalnya bertujuan membentuk karakter anak melalui pendekatan semi-militer.
Baca Juga: KPAI Temukan Ada Ancaman ke Anak yang Tolak Program Militer di Jabar Bakal Gak Naik Kelas
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat memberi sambutan kepada siswa-siswi SMAN 2 Purwakarta, Rabu (14/5/2025). (Dok.Antara)
Namun, menurut KPAI, pendekatan tersebut justru menyimpan potensi pelanggaran hak anak karena minimnya partisipasi anak, ketidakterlibatan psikolog profesional, hingga belum adanya standar pelaksanaan yang jelas.
“Adakah dalam proses dan penentuan anak yang katakanlah dibawa ke barak militer ini melibatkan partisipasi anak. Termasuk asesmen psikologi profesional karena kita tidak bisa coba-coba untuk menghadapi anak ini,” lanjut Jasra.
Dalam hasil pengawasannya, KPAI menemukan sejumlah temuan krusial:
- Program tidak sepenuhnya memperhatikan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan PP No. 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak, sehingga membuka celah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap anak.
- Tidak ada panduan teknis atau SOP yang mengatur pelaksanaan, menyebabkan perbedaan signifikan antar lokasi program dalam hal metode pembinaan, sarana prasarana, hingga pengajaran akademik.
- Penentuan peserta hanya berdasarkan rekomendasi guru BK, tanpa asesmen psikologi profesional, bahkan beberapa anak mendapat ancaman tidak naik kelas jika menolak ikut.
- Dari wawancara di lapangan, KPAI mencatat penyebab utama anak dikirim ke program ini adalah kebiasaan merokok, membolos, dan tawuran, namun sekitar 6,7% anak tidak tahu alasan mereka dikirim ke sana.
- Banyak anak ternyata menunjukkan latar belakang pengasuhan yang kurang optimal—akibat perceraian, absennya figur ayah, atau tinggal jauh dari orang tua.
Selain itu, dukungan profesional di lapangan juga dinilai sangat minim. KPAI mencatat kurangnya kehadiran psikolog, pekerja sosial, guru BK, bahkan tenaga medis dan ahli gizi, serta belum optimalnya kerja UPTD PPA dan lembaga perlindungan anak lainnya. Bahkan sebagian pembina tidak memahami prinsip dasar child safeguarding.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Tegur Murid Terkait Wisuda, KPAI: Dia Masih Anak-anak!
Meski KPAI mengakui bahwa program ini mengandung unsur positif seperti penanaman kedisiplinan, penguatan nilai kebangsaan, dan pembentukan mental, Jasra menegaskan bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan prinsip perlindungan anak sebagai prioritas utama.
KPAI meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bersama kementerian dan lembaga terkait, segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap desain, tujuan, dan pelaksanaan program, sebelum diputuskan untuk dilanjutkan kembali.
“Diperlukan perbaikan mendasar, termasuk melibatkan partisipasi anak, kehadiran psikolog profesional, serta regulasi yang selaras dengan prinsip perlindungan anak,” tutup Jasra.