Ntvnews.id, Bangkok - Pemerintahan Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, berada dalam krisis pada Kamis, 19 Juni 2025, menyusul keluarnya salah satu mitra utama koalisi. Tuntutan agar dirinya mundur kian menguat, meski masa jabatannya baru menginjak 10 bulan.
Dilansir dari DW, Jumat, 20 Juni 2025, Paetongtarn, yang masih berusia 38 tahun dan baru menapaki dunia politik, merupakan putri dari mantan perdana menteri berpengaruh, Thaksin Shinawatra. Kini, ia menghadapi tantangan serius berupa menurunnya dukungan publik, kondisi ekonomi yang lesu, serta ketegangan dengan Kamboja yang menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik bersenjata.
Partai Bhumjaithai, yang merupakan mitra koalisi terbesar kedua, menarik dukungannya pada Rabu, 18 Jui 2025, hanya beberapa jam setelah bocornya rekaman percakapan telepon antara Paetongtarn dan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen. Isi percakapan itu dinilai mencoreng integritas nasional, kedaulatan negara, serta menciptakan persepsi negatif terhadap institusi militer.
Beberapa partai lainnya, termasuk United Thai Nation (UTN), Chart Thai Pattana, dan Partai Demokrat, dijadwalkan menggelar rapat terpisah pada Kamis untuk menentukan sikap mereka. Bila UTN atau Partai Demokrat juga keluar dari koalisi, Paetongtarn akan memimpin pemerintahan minoritas yang secara praktis sulit bertahan.
Baca Juga: Raja dan Ratu Thailand Jadi Pilot dan Kopilot Saat Kunjungan Resmi ke Bhutan
Sampai saat ini, Paetongtarn belum menyampaikan pernyataan resmi terkait keluarnya Bhumjaithai. Ia terlihat memasuki kantor pemerintahan pada Kamis pagi, dengan penjagaan polisi di sekitar lokasi untuk mengantisipasi aksi demonstrasi.
Kondisi politik yang tidak menentu ini memicu gejolak pasar. Bursa saham Thailand mengalami penurunan hingga 2,4 persen pada sesi perdagangan pagi, menyentuh titik terendah sejak 9 April.
Isi Rekaman yang Menghebohkan
Dalam rekaman percakapan tertanggal 15 Juni yang bocor ke publik, Paetongtarn terdengar mendesak Hun Sen untuk menyelesaikan sengketa perbatasan secara damai, serta memintanya mengabaikan suara dari "pihak lain" di Thailand, termasuk seorang jenderal militer yang ia sebut "hanya ingin terlihat hebat."
Ketika dikonfirmasi, Paetongtarn menjelaskan bahwa pernyataannya tersebut merupakan bagian dari strategi diplomatik dan tidak ada konflik dengan militer.
Baca Juga: Ketegangan di Perbatasan Mereda, Kamboja-Thailand Tarik Pasukan
Pada Kamis, ia mengadakan rapat darurat dengan pejabat tinggi pertahanan, termasuk menteri pertahanan, panglima angkatan darat, dan kepala staf angkatan bersenjata, guna membahas situasi dengan Kamboja. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan permohonan maaf atas bocornya rekaman tersebut dan menyerukan agar seluruh pihak bersatu.
“Kita tidak bisa terpecah belah saat ini. Kedaulatan negara harus dijaga. Pemerintah siap mendukung militer sepenuhnya,” ujar Paetongtarn di hadapan wartawan.
Kemungkinan Arah Politik Baru
Jika Paetongtarn memutuskan untuk mundur, parlemen Thailand harus bersidang untuk memilih perdana menteri baru dari lima nama yang tersisa dalam daftar calon hasil pemilu 2023.
Pilihan lainnya adalah pembubaran parlemen dan pelaksanaan pemilu dini — sebuah skenario yang diyakini akan menguntungkan Partai Rakyat, oposisi terbesar di parlemen yang kini menjadi partai paling populer berdasarkan berbagai survei.
Partai Rakyat merupakan kelanjutan dari Partai Move Forward (MFP), yang meski menang dalam pemilu 2023, dibubarkan oleh pengadilan tahun lalu. MFP menyebut krisis politik saat ini hanya bisa diselesaikan lewat mandat baru dari rakyat.
“Kebocoran percakapan ini adalah titik balik bagi politik Thailand,” kata Ketua Partai Rakyat, Natthaphong Ruengpanyawut, dalam konferensi pers.
“Saya mendesak perdana menteri untuk membubarkan parlemen. Rakyat menginginkan pemerintahan sah yang lahir dari proses demokrasi dan mampu menjawab kebutuhan mereka.” pungkasnya.